Login Image

Tentang Gratifikasi Online

Gratifikasi Online adalah sebuah sistem pelaporan gratifikasi yang terintegrasi, mudah, dan transparan. Dibangun untuk memfasilitasi Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara dalam melaporkan setiap penerimaan gratifikasi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pemberantasan gratifikasi adalah bagian dari strategi besar Mahkamah Agung untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kualitas pelayanan publik. Ketua Mahkamah Agung berharap penghargaan ini dapat memotivasi pengadilan dan satker lain untuk mengadopsi standar serupa, demi membangun budaya anti-korupsi di seluruh lini peradilan. --- BAWAS MARI
Ayo Laporkan Sekarang
Gambar Tentang Gratifikasi Online

Tujuan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Gratifikasi

  • Sebagai pedoman bagi Hakim dan Aparatur di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang ada di bawahnya untuk memahami, mencegah, dan menangani gratifikasi.
  • Memberikan arah dan acuan bagi Hakim dan Aparatur di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang ada di bawahnya mengenai pentingnya kepatuhan melaporkan gratifikasi untuk perlindungan dirinya maupun keluarganya dari tindak pidana terkait gratifikasi.
  • Membangun integritas Hakim dan Aparatur yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
  • Membentuk lingkungan organisasi yang sadar dan terkendali dalam penanganan praktik gratifikasi dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas.

Dasar Hukum

  • Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
  • Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.
  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pencegahan Korupsi.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
  • Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1992 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1974 tentang Beberapa Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kesederhanaan Hidup.
  • Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System di Mahkamah Agung) dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
  • Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim.
  • Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 122/KMA/SK/VII/2013 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Panitera dan Juru Sita.
  • Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 119/KMA/SK/VII/2019 tentang Pembentukan Unit Pengendali Gratifikasi pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
  • Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor 008-A/SEK/SK/I/2012 tentang Aturan Perilaku Pegawai Mahkamah Agung Republik Indonesia.
  • Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi.

Pertanyaan yang Sering Diajukan

Pertanyaan umum terkait pelaporan gratifikasi.

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, telah menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila pemberian tersebut dilakukan karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Gratifikasi kepada Hakim atau Aparatur Pengadilan jika berhubungan dengan jabatan dan/atau berlawanan dengan kewajiban atau tugas pada prinsipnya wajib ditolak dan penolakan wajib dilaporkan. Apabila situasi tidak memungkinkan untuk ditolak, maka penerimaan gratifikasi wajib dilaporkan. Situasi yang tidak memungkinkan seperti tidak diterima secara langsung, pemberi gratifikasi tidak diketahui, penerima ragu dengan kualifikasi gratifikasi yang diterima dan adanya kondisi tertentu seperti mengakibatkan rusaknya hubungan institusi, membahayakan diri sendiri dan/atau karir penerima atau ada ancaman lain.

Contoh gratifikasi yang wajib dilaporkan, antara lain:
  • Pemberian uang oleh pihak beperkara sebagai ucapan terima kasih dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Hakim atau Aparatur Pengadilan;
  • Pemberian fasilitas dan akomodasi yang diterima oleh Hakim atau Aparatur Pengadilan yang tidak sesuai dengan standar biaya yang berlaku umum;
Semua ketentuan mengenai Gratifikasi yang wajib dilaporkan berlaku secara mutatis mutandis terhadap keluarga Hakim atau Aparatur Pengadilan.
Bentuk penerimaan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan meliputi:
  • Pemberian dalam keluarga (kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, anak angkat/wali yang sah, cucu, besan, paman/bibi, kakak/adik/ipar, sepupu dan keponakan), sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan;
  • Keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi, atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;
  • Manfaat dari koperasi, organisasi kepegawaian atau organisasi yang sejenis berdasarkan keanggotaan, yang berlaku umum;
  • Perangkat atau perlengkapan yang diberikan kepada peserta dalam kegiatan kedinasan seperti seminar, workshop, konferensi, pelatihan, atau kegiatan sejenis, yang berlaku umum;
  • Hadiah tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, yang dimaksudkan sebagai alat promosi atau sosialisasi yang menggunakan logo atau pesan sosialisasi, sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan dan berlaku umum;
  • Hadiah, apresiasi atau penghargaan dari kejuaraan, perlombaan atau kompetisi yang diikuti dengan biaya sendiri dan tidak terkait dengan kedinasan;
  • Penghargaan baik berupa uang atau barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • Hadiah langsung/undian, diskon/rabat, voucher, point rewards, atau suvenir yang berlaku umum dan tidak terkait kedinasan;
  • Kompensasi atau honor atas profesi di luar kegiatan kedinasan yang tidak terkait dengan tugas dan kewajiban, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan dan tidak melanggar peraturan/kode etik pegawai/pejabat yang bersangkutan;
  • Kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan yang telah ditetapkan dalam standar biaya yang berlaku di instansi penerima gratifikasi sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat konflik benturan kepentingan, dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima;
  • Karangan bunga sebagai ucapan yang diberikan dalam acara seperti pertunangan, pernikahan, kelahiran, kematian, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya, pisah sambut, pensiun, dan promosi jabatan;
  • Pemberian terkait dengan pertunangan, pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap pemberi;
  • Pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh diri penerima gratifikasi, suami, istri, anak, bapak, ibu, mertua, dan/atau menantu penerima gratifikasi sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan, dan memenuhi kewajaran atau kepatutan;
  • Pemberian sesama rekan kerja dalam rangka pisah sambut, pensiun, mutasi jabatan, atau ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya paling banyak senilai Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan;
  • Pemberian sesama rekan kerja yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, dan tidak terkait kedinasan paling banyak senilai Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama;
  • Pemberian berupa hidangan atau sajian yang berlaku umum;
  • Pemberian cendera mata/plakat kepada instansi dalam rangka hubungan kedinasan dan kenegaraan, baik di dalam negeri maupun luar negeri sepanjang tidak diberikan untuk individu pegawai negeri atau penyelenggara Negara.
**Pengecualian pelaporan gratifikasi pada poin-poin di atas tidak berlaku dalam hal gratifikasi tersebut dilarang menurut peraturan yang berlaku di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya.**
  • **Hakim** adalah Hakim Agung dan Hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara termasuk Hakim Ad hoc dan Hakim Pengadilan Pajak.
  • **Aparatur Pengadilan** adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah Non ASN yang bekerja di lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya.
Gratifikasi merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi baru yang diatur dalam Pasal 12B dan 12C UU Tipikor sejak tahun 2001. Namun, jika penerima gratifikasi melaporkan pada KPK paling lambat 30 hari kerja, maka Hakim/Aparatur Pengadilan dibebaskan dari ancaman pidana gratifikasi.

**Pasal 12B UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999:**
  1. Setiap gratifikasi kepada Hakim/Aparatur Pengadilan dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
    2. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
  2. Pidana bagi Hakim/Aparatur Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

**Pasal 12C UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999:**
  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Khusus untuk Hakim juga berlaku Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009–02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Tindakan yang harus dilakukan adalah **MENOLAK PEMBERIAN** tersebut.

Jika pada kondisi tertentu tidak memungkinkan untuk menolak (misalnya gratifikasi disampaikan melalui perantara keluarga, identitas pemberi tidak diketahui, atau demi menjaga hubungan baik institusi), maka penerima gratifikasi wajib **MELAPORKAN PENERIMAAN GRATIFIKASI** tersebut kepada KPK dalam waktu maksimal **30 hari kerja** sejak tanggal penerimaan.

Penolakan terhadap gratifikasi akan membangun kebiasaan dan budaya anti-gratifikasi.
Pelaporan gratifikasi dapat disampaikan melalui:
  • **Aplikasi Gratifikasi Online (GOL) KPK:** Pelapor secara mandiri dapat melaporkan penerimaan gratifikasi melalui aplikasi Gratifikasi Online (GOL) dengan mengakses tautan https://gol.kpk.go.id atau dengan mengunduh aplikasi GOL melalui Google Play Store (Android) atau App Store (iOS).
  • **Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):** Melalui formulir pelaporan gratifikasi yang dapat diunduh pada tautan https://bit.ly/mari_laporgratifikasi. Laporan langsung ke KPK harus dalam jangka waktu **30 hari kerja** sejak terjadinya peristiwa gratifikasi, dengan tembusan disampaikan kepada UPG.
  • **UPG Pusat:** Jika gratifikasi diterima oleh hakim dan aparatur di lingkungan eselon I Mahkamah Agung, laporan dapat disampaikan melalui UPG Pusat dalam jangka waktu paling lama **10 hari kerja** sejak tanggal gratifikasi diterima. UPG Pusat wajib meneruskan laporan tersebut melalui aplikasi Gratifikasi Online (GOL) di hari yang sama.
Pelapor yang telah menyampaikan laporan gratifikasi sesuai ketentuan tidak dikenakan ancaman tindak pidana korupsi.
Laporan gratifikasi sekurang-kurangnya memuat:
  • Identitas pelapor (nama, NIK, alamat lengkap, jabatan, unit kerja, alamat email, dan/atau nomor telepon);
  • Bentuk dan jenis praktik gratifikasi yang telah dilakukan (penolakan, penerimaan, pemberian, dan/atau pemberian atas permintaan);
  • Spesifikasi wujud dari benda gratifikasi (contohnya uang, tiket perjalanan, dan sebagainya);
  • Waktu dan/atau rentang waktu dan lokasi dilakukannya praktik gratifikasi;
  • Nama pihak/lembaga pemberi, penerima atau peminta gratifikasi;
  • Nilai/perkiraan nilai materi dari benda gratifikasi; dan
  • Dokumen kelengkapan pendukung lainnya.
**Hak Pelapor:**
  • Memperoleh penjelasan dari UPG mengenai hak dan kewajiban pelapor dalam pelaporan gratifikasi;
  • Memperoleh informasi perkembangan laporan gratifikasi; dan
  • Memperoleh perlindungan dari UPG.
**Perlindungan Pelapor:**
  • UPG harus memberikan perlindungan hukum kepada pelapor gratifikasi.
  • Perlindungan berupa menjaga kerahasiaan identitas pelapor dan memastikan tidak terdapat intimidasi dan diskriminasi dalam aspek kepegawaian.
  • Identitas pelapor hanya dapat diungkap untuk keperluan proses penegakan hukum, terkecuali dalam hal ditujukan untuk mendorong budaya anti-gratifikasi, UPG Pusat dapat memublikasikannya.
  • Pelapor yang menghadapi ancaman/potensi ancaman (fisik atau psikis, termasuk terhadap karir) dapat mengajukan permintaan perlindungan kepada Badan Pengawasan dan/atau KPK.
**Penyimpanan Gratifikasi:**
  • Gratifikasi yang diterima wajib disimpan oleh pelapor atau UPG Pusat sampai ditetapkannya status kepemilikan oleh KPK.
  • Apabila gratifikasi berupa makanan/minuman yang mudah rusak, dapat diserahkan ke lembaga sosial atau pihak yang lebih membutuhkan sesuai ketentuan.
**Mekanisme KPK:**
  • Setiap laporan Gratifikasi akan ditindaklanjuti dan ditetapkan status kepemilikannya (milik negara atau milik penerima) dalam waktu **30 Hari Kerja (HK)**. KPK dapat melakukan klarifikasi dan verifikasi kepada Pelapor jika diperlukan.
**Setelah Penetapan Status:**
  • **Milik Negara:** Pelapor wajib menyerahkan gratifikasi kepada KPK setelah penetapan menjadi milik negara. Jika berupa uang, pelapor menyetor ke rekening kas negara. Jika berupa barang, KPK akan menyerahkan kepada Kementerian Keuangan melalui DJKN untuk dilelang, dengan hasil lelang dicatat sebagai penerimaan negara.
  • **Dikelola Instansi:** Jika ditetapkan dikelola instansi, pelapor wajib menyerahkan objek gratifikasi kepada UPG. Pemanfaatan gratifikasi yang dikelola instansi ditetapkan oleh UPG.
  • **Milik Penerima:** Untuk pelaporan melalui UPG Pusat, surat keputusan penetapan status gratifikasi disampaikan kepada pelapor.
Seluruh masyarakat diperbolehkan mengikuti lelang barang gratifikasi.
Ayo Laporkan Sekarang